Angkat Ransel untuk Konservasi?

Bernadetha Maria
4 min readJun 15, 2021

--

Matahari sedikit terlambat hari itu. Mungkin menunggu saya yang juga sedikit terlambat untuk bangun dan menghirup udara luar kamar. Berencana bangun sebelum fajar untuk naik ke atas rumah pohon dekat camp dan menikmati matahari terbit nyatanya memang hanya sebuah wacana. Lantai kayu beralaskan tikar hari itu terasa dua kali lipat lebih nyaman daripada hangatnya matahari pagi. Badan yang terlampau lelah memang menjadikan kerasnya kayu senyaman kasur di rumah. Matahari masih malu-malu saat saya berjalan keluar camp. Tidak menyesal tidak jadi bangun dan manjat pohon pagi-pagi.

Seperti biasa kalau terbangun di alam, hal pertama yang saya lakukan adalah menarik napas dalam-dalam. Menghirup seluruh aroma rumput-rumput dan tanah basah bekas embus semalam. Selalu menenangkan. Seorang teman mengatai saya aneh menyukai bau rumput basah. Tapi itu memang jadi candu tersendiri untuk saya, bisa mencium aroma ‘hutan’ di pagi hari sepertinya sudah menjadi kebutuhan sekunder dalam hidup saya.

Hari itu hari terakhir saya berada di Taman Nasional Way Kambas. Setelah satu minggu penuh berada disana untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan, saya dan seorang teman memutuskan untuk tinggal satu malam lebih lama untuk melakukan beberapa survey tambahan. Berbeda dari malam-malam sebelumnya dimana kami bermalam di homestay masyarakat di desa, di malam terakhir kami memutuskan untuk menginap di salah satu camp restorasi di Rawa Kidang. Berniat untuk melihat gajah liar secara langsung, namun ternyata nampaknya kumpulan gajah sedang nyaman di tempat persembunyiannya. Lebih jauh dari sekedar gajah dan wildlife conservation yang selama ini saya lihat di National Geographic, hari itu saya belajar satu hal yang lebih dalam dan penting dalam konservasi. Masyarakat.

Perburuan liar. Illegal logging. Perusakan hutan. Pembukaan lahan illegal.
Berbagai macam tuduhan seperti itu seringkali jatuh pada kaum-kaum marginal yang biasanya hidup di sekitar kawasan konservasi. Menggunakan dalih tingkat pendidikan rendah dan kemiskinan yang tinggi menjadi justifikasi bahwa kegiatan illegal tersebut dilakukan tidak lain oleh masyarakat desa sekitar. Seakan-akan lebih mudah memicingkan mata pada oknum masyarakat desa penyangga yang seharusnya diharapkan dapat menyangga ekosistem liar dan menjadi pembatas antara ekosistem alami dengan ekosistem buatan di daerah perkotaan.

Tidak salah.
Juga tidak benar.

Berbicara konservasi merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Faktor sosial, politik, ekonomi, dan ekologi bercampur menjadi satu dalam isu mempertahankan kelestarian alam dan kehidupan di dalamnya. Atau mungkin lebih tepatnya mempertahankan kehidupan manusia yang akan runtuh apabila kelestarian alam dan kehidupan mahkluk lainnya musnah. Semakin banyak petisi yang menyuarakan perlindungan hutan, perlindungan hewan, dan perlindungan ekosistem lainnya. Berbagai gerakan perlindungan dilakukan dengan gencar oleh banyak aktivis dari seluruh daerah. Pos-pos penjagaan dan patroli oleh pihak berwenang di kawasan-kawasan konservasi menjadi hal yang lumrah dan wajib dilakukan untuk menghalau para pelaku illegal yang akan masuk.

Namun nyatanya, praktik konservasi dan perlindungan ekosistem tidak lagi melulu soal angkat senjata atau angkat ransel berkeliling hutan mencari pelaku. Masyarakat penyangga memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini.

Mengedukasi dan memberdayakan masyarakat lokal untuk ikut patroli dan menjaga kawasan dengan ransel dan senjata? Bukan.

Sekelompok masyarakat dari Desa Labuhan Ratu VII, salah satu desa penyangga di TN Way Kambas membentuk suatu kelompok tani hutan yang dibina oleh Balai Taman Nasional dan mitra, bersama-sama berkarya dan menghasilkan produk hasil hutan.

Eksploitasi hutan? Tidak, justru merekalah yang ternyata secara tidak langsung menjaga kawasan Taman Nasional.

Taman Nasional Way Kambas adalah satu-satunya taman nasional yang tidak memiliki buffer zone atau zona peralihan dari area inti ke area pemanfaatan/pemukiman. Hal ini menyebabkan banyaknya binatang liar (dalam hal ini gajah) yang masuk ke dalam pemukiman penduduk, merusak ladang penduduk, dan menciptakan konflik yang dapat berakhir pembunuhan pada binatang tersebut.

Sudah sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu warga Desa Labuhan Ratu VII berhenti menanam jagung karena jagung merupakan salah satu makanan kesukaan gajah. Alhasil ladang jagung selalu rusak oleh gajah.

Satu tahun terakhir, kelompok tani hutan yang dibina oleh Pak Yanto, salah seorang penyuluh dari Balai Taman Nasional Way Kambas mendirikan kawasan restorasi pakan badak di daerah yang pernah terbakar dan juga merupakan lintasan gajah. Selain itu, mereka juga mulai membangun kawasan budidaya lebah trigona di area yang merupakan jalur lintasan gajah menuju pemukiman penduduk.

Gotong Royong Membangun Kawasan Budidaya Lebah Trigona

Hal ini tanpa disadari menjadi manfaat bagi para penduduk. Gajah tidak lagi masuk ke dalam pemukiman penduduk sehingga akhirnya tidak ada lagi konflik antara gajah dan penduduk. Saat ini, di Desa Margahayu sudah kembali ada perkebunan jagung. Selain itu, adanya aktivitas di kedua daerah tersebut juga mengurangi masuknya pelaku illegal yang seringkali masuk ke dalam hutan melalui kawasan tersebut.

Perkebunan Jagung Kembali Tumbuh di Desa Margahayu

Budaya gotong royong yang dilakukan oleh para anggota di kelompok tani hutan juga menumbuhkan rasa kepemilikan dan kemauan untuk menjaga hutan dan kehidupan di dalamnya. Angka kemiskinan yang cukup tinggi memang tidak lain menjadi salah satu penyebab banyaknya aktivitas illegal yang justru dilakukan oleh masyarakat sekitar. Dengan memberdayakan dan meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar secara kreatif, nyatanya dapat memberikan dampat tidak langsung namun signifikan pada perlindungan ekosistem alami. Ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘hutan lestari, masyarakat sejahtera’ . Namun sepertinya, kita bisa mulai mencoba untuk melihat pepatah tersebut dari sisi yang berbeda.

‘masyarakat sejahtera, hutan lestari’.

Bersama perakilan kelompok tani hutan dan Pak Yanto (kiri), penyuluh kelompok tani hutan

“Saya sudah dapat banyak manfaat dari hutan, kalau saya sudah dapat manfaatnya, masa iya saya tidak mau menjaga hutannya? Menjaga hutan juga salah satu cara saya untuk berterima kasih kepada hutan” — Nandar, anggota kelompok tani hutan

--

--