Filosofi di Tengah Modernisasi Tubaba

Bernadetha Maria
5 min readFeb 6, 2021

Tidak semua orang mengenal Tubaba, sebuah Kabupaten di Provinsi Lampung yang jarang dilirik oleh banyak pelancong. Tulang Bawang Barat yang dapat ditempuh selama tiga jam dari Pelabuhan Bakauheni melalui jalan tol lintas Sumatra ini memang merupakan Kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang yang baru diresmikan tahun 2008 silam.

Sejenak memasuki gapura selamat datang tidak ada yang terlalu istimewa di tempat ini, sama seperti kota-kota di luar Jawa pada umumnya. Jalan kecil dengan beberapa lubang kecil, kebun karet, dan rumah-rumah pedesaan yang terlihat menenangkan menjadi pemandangan sepanjang perjalanan. Di perjalanan menuju penginapan, kami menemukan monumen Megow Pak di sisi kanan jalan berupa patung relief empat tokoh yang melambangkan empat suku yang terdapat di Kabupaten Tubaba.

Megow Pak (Sumber : News Lampung Terkini)

Tak jauh dari situ, barulah kami sampai ke tempat penginapan kami, Uluan Nughik. Rencana awal adalah saya dan dua rekan kerja hanya akan bermalam di Tubaba satu malam, lalu di hari kedua pindah ke Bandar Lampung untuk sejenak berlibur sebelum pulang kembali ke Bandung dan bekerja di hari ketiga. Tapi tepat setelah kami sampai di Uluan Nughik, kalimat yang pertama kali keluar secara serempak adalah

“Kita gausah pindah ke Bandar Lampung ya!”

Uluan Nughik

Perpaduan arsitektur rumah tradisional khas Lampung bercampur design kontemporer dengan batu-batuan khas Prof. Sunaryo menjadi ciri khas yang unik di Uluan Nughik. Lokasi yang terletak di tengah perkebunan membuat suasana tenang yang seketika menghapus penat dan lelah perkotaan. Ini membuat saya mengurungkan rencana untuk segera mandi dan tidur, dan memilih untuk jalan-jalan sore di sekitar Uluan Nughik.

Rumah Adat Khas Lampung — Uluan Nughik

Uluan Nughik sebenarnya bukan penginapan komersial, melainkan taman budaya rumah adat yang dibangun khusus untuk kegiatan pendidikan, seni, dan budaya yang berbasis ekologi bagi para masyarakat Tubaba. Namun beruntung rekan saya menjadi salah satu pembicara di acara yang sedang digelar disana, sehingga kami bisa ikut menginap di salah satu rumah panggung yang ada disana. Rumah-rumah panggung ini seluruhnya dibuat dengan menggunakan kayu-kayu bekas dari rumah panggung yang asli. Rumah asli itu kemudian dibongkar satu persatu, lalu dibangun kembali di Uluan Nughik sesuai dengan design sebenarnya.

Tak jauh dari gerbang masuk Uluan Nughik terdapat rumah adat khas Baduy. Cukup membingungkan bagi saya melihat rumah adat Baduy di tengah Provinsi Lampung. Tapi ternyata, ada filosofi yang mendalam di balik itu. Menurut Pak Umar, Bupati Tubaba, kehidupan suku Baduy merupakan kehidupan yang sangat selaras dengan alam. Ditengah modernisasi yang kita hadapi, masyarakat Baduy tetap berpegang pada tradisi hidup dari alam dan kembali ke alam. Mereka hidup dengan memanfaatkan segala hal yang telah alam sediakan, dan sebagai ucapan syukur pada alam, mereka menjaga alam dengan sepenuh hati. Nilai inilah yang ingin ditanamkan Pak Umar kepada masyarakat Tubaba, kesederhanaan dan kehidupan yang selaras dengan alam.

Di hari kedua, setelah kami menyelesaikan tugas di Tubaba, kami menyempatkan untuk berkunjung ke beberapa tempat wisata di Tubaba sebelum kembali ke Bandung keesokan harinya.

Las Sengok menjadi tujuan pertama di sore hari setelah selesai beraktivitas. Sekitar satu jam dari Uluan Nughik, Las Sengok yang terletak di Tiyuh (Desa) Karta merupakan taman batu yang terletak di tengah hutan yang dikelilingi oleh sungai Way Kiri. Susunan batu yang terdapat di Las Sengok berbentuk rasi bintang orion yang merupakan rasi bintang yang paling mudah untuk dilihat dilangit. Hal ini merupakan simbol keterbukaan Kabupaten Tubaba bagi siapa saja yang ingin berkunjung dan berkarya, serta harapan bahwa Tubaba dapat dilihat dan dikenal di kalangan internasional. Dari namanya sendiri, Las Sengok berarti hutan larangan atau hutan angker (Las : hutan, Sengok : larangan). Konon katanya, kawasan ini jarang didatangi pengunjung karna dianggap angker. Namun begitu, makna sebenarnya dari hutan larangan ini adalah bukanlah hutan yang tidak boleh dikunjungi, melainkan hutan yang harus dijaga kelestariannya. Bupati Tubaba melalui Las Sengok, kembali ingin mengajak masyarakat untuk menjaga keselarasan hidup manusia dengan alam.

Las Sengok

Karena hari sudah gelap, kami segera bergegas menuju destinasi terakhir kami, yaitu Islamic Center Tubaba.

Islamic Center Tubaba

Lagi-lagi konsep dan design arsitektur dari tempat-tempat yang ada di Tubaba daya tarik sendiri di setiap pijakan pertama. Jelas saja, karya tangan Andra Matin yang dikolaborasikan dengan tangan dingin Professor Sunaryo berhasil menciptakan karya seni yang bisa dinikmati oleh semua orang. Dua orang hebat yang mungkin jatuh cinta dengan Tubaba dan memutuskan untuk meninggalkan jejaknya di Tubaba. Masjid tanpa kubah dengan design modern-minimalis yang dikelilingi danau buatan ini sangat cantik diterangi oleh lampu kuning di malam hari.

Lorong Cahaya

Memasuki pintu masuk masjid, saya disambut oleh lorong panjang dengan plat lampu yang bertuliskan surat-surat Alquran. Tanpa kubah, menara masjid ini dibangun setinggi 30 meter, sesuai dengan jumlah juz yang ada pada Alquran. Serta, di dalamnya, terdapat 99 cahaya Asmaul Husna di langit-langit masjid. Rekan saya yang merupakan seorang Muslim, langsung bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat isya di masjid yang penuh dengan cinta di setiap sudutnya.

Begitulah, Tubaba dengan segala nilai dan ceritanya membuat saya sedikit menyesal tidak bisa berlama-lama tinggal disini. Masih banyak tempat dan cerita yang perlu didengar dari tempat ini. Tapi mungkin, itu bisa menjadi alasan kuat untuk bisa kembali ke Tubaba.

--

--